Bila
dibandingkan dengan dua ibu kota di Jawa, Kota Semarang termasuk ibukota di Jawa yang tidak
sehat. Begitulah menurut dr. de Vogel dalam Rapat Dewan Kotapraja. Sebagai
seorang dokter, Vogel tidak tega melihat sanak keluarganya meninggal karena wabah
penyakit. Ia merasa bersalah jika membiarkan wabah penyakit terus menyebar.
Vogel menganggap perlu ada pembangunan daerah pemukiman yang terencana dengan
baik. Bahkan, pembangun tersebut dianggapnya sebagai kebutuhan yang mendesak.
Vogel mengusulkan pembangunan daerah pemukiman tersebut berada di perbukitan Kota Semarang.
Sebagai seorang
yang sadar hak asasi, Vogel sadar bahwa usulnya akan mendapat banyak
pertentangan. Benar, pertentangan tersebut berasal dari masyarakat Cina yang
berada di Kota
Semarang. Masyarakat Tionghoa yang berada di Kota Semarang tidak sependapat karena daerah perbukitan Semarang
dimanfaatkan sebagai makam. Selain itu, beberapa anggota Dewan Kotapraja juga
tidak sependapat karena hal tersebut akan terjadi pemindahan kota bawah ke kota
atas.
Meski demikian,
pendapat Vogel mendapat dukungan dari dr. Tesburgh. Berdasarkan hasil
pengamatan Tesburgh sebagai dokter, daerah perbukitan sudah layak digunakan
sebagai tempat hunian dan bahkan tidak perlu ada perbaikan ekstra.
Berdasarkan
pembicaraan panjang tersebut, akhirnya disepakati pembangunan kota di
perbukitan Semarang. Makam Tionghoa pun dipindahkan ke daerah Kedungmundu, Gemah, Terguwo, dan Sendang.
Pada abad ke-20, kawasan Candi Baru (perbukitan Kota Semarang) menjadi tempat tinggal yang indah,
sehat, serta berfasilitas lengkap seperti air dan transportasi. Kawasan
tersebut ramai dihuni oleh orang-orang berduit.
0 comments :
Post a Comment